Selasa, 31 Maret 2009

ADONIS




“I live between the fire and the plague

with my language—with this mute universe”

The Fall (Adonis)




“Aku hidup di antara api dan epidemi

bersama gelisah bunyi—di dalam dunia sunyi”

Takluk (Adonis)


ADONIS adalah Ali Ahmad Said. Lahir pada 1930 di Qassabin, Siria. Bila ditilik dari sudut etimologi, Adon berasal dari bahasa Semit, adon, yang bermakna “Raja”. Sebelum memulai kuliah umum di ruang blackbox theatre Salihara pada 3 November 2008, ada narasi yang bercerita tentang musabab sempat mengungkapkan bahwa alasan Ali Ahmad Said menggunakan nama pena: Adonis. Diceritakan bahwa penggunaan nama tersebut dikarenakan Ali Ahmad Said merasa bahwa ‘kegagalan’ puisinya lolos seleksi bersumber pada namanya; itulah yang menyebabkan ia menggunakan nama pena: Adonis. Ternyata, strateginya berhasil. Bentala internasional mengenal Ali Ahmad Said sebagai Adonis, Adonis of Syria, Raja dari Siria.

Pada kuliah umum di blackbox theatre Salihara, peraih gelar Philosophical Doctor dari St. Joseph University, Beirut, Lebanon, pada 1973 ini memaparkan makalah bertajuk “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. Di dalam makalahnya, Adonis mengajukan tesis: “Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya berlawanan/bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama.” Bila tesis tersebut dikembalikan kepada judul makalah, hasilnya: kontradiksi. Bagaimana mungkin ‘yang bertolak belakang’ (pada tesis) bersanding dengan ‘dan’ (pada judul)?

Lepas dari kontradiksi antara judul dengan tesis, artikel ini saja tujukan untuk membahas (1) dimensi logika dari judul makalah, dan (2) dimensi kronologis penempatan frase. Penjernihan atas kontradiksi antara tesis dengan judul akan saya bahas pada bagian yang terpisah dari tulisan ini, disebabkan penjelasan terkait kontradiksi tersebut mengacu pada pola pikir dialektis yang dimajukan Adonis sebagai kerangka utama penyusunan makalah tersebut.


Makna “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu beda dengan makna “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama”. Pada yang kedua, variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih. Situasional memilih berarti memilih salah satu dari antara dua pilihan yang tersedia. Tindakan memilih yang-satu diikuti dengan tindakan mengenyahkan yang-lain. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti menendang “Kebenaran Agama”, memilih “Kebenaran Agama” berarti mencampakkan “Kebenaran Puisi”. Secara tidak langsung tindakan memilih yang-satu dapat berarti bahwa yang-satu itulah yang benar, sedangkan yang-lain adalah salah. Namun, kesimpulan yang begitu tidaklah selalu benar, menurut saya. Adalah lebih tepat bila dinyatakan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak ditujukan untuk menyalahkan yang-lain; meski selalu ada kecenderungan rasional untuk menyatakan bahwa ketika yang-satu dipilih, maka yang-lain adalah salah.

Apa yang saya maksudkan tak jauh beda ketika kita diperhadapkan pada pilihan mengunjungi teman yang sedang sakit atau pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis. Dalam situasional memilih tersebut, andaikan kita memutuskan untuk pergi mengunjungi teman yang sedang sakit, bukanlah berarti pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis adalah salah; begitu pula sebaliknya. Melalui perumpamaan ini pulalah saya menegaskan bahwa asumsi yang saya atas permasalahan “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama” adalah pengosongan makna dari “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” sebagai pilihan disetarakan dengan “mengunjungi teman yang sakit” dan “pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis”.

Asumsi pengosongan makna saya tujukan untuk melihat permasalahan variabel ‘atau’ dalam kepenuhan ‘atau’ itu sendiri sebagai simbolisasi dari suatu situasional memilih. Seturut dengan ilmu logika, asumsi pengosongan yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak selalu berarti menyalahkan yang-lain. Dalam ilmu logika, variabel ‘atau’ yang menghubungkan dua entitas hanya menghasilkan konklusi yang bernilai salah apabila entitas pertama, atau katakanlah “Kebenaran Puisi”, bernilai salah, dan entitas kedua, atau katakanlah “Kebenaran Agama”, bernilai salah juga. Namun, apabila entitas pertama bernilai benar dan entitas kedua bernilai benar, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan dengan variabel ‘atau” adalah benar. Bila entitas pertama bernilai salah/benar dan entitas kedua bernilai benar/salah, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan oleh variabel ‘atau’ adalah benar. Pola baku penalaran logika ‘atau’ sbb:


Entitas Pertama (P)
Entitas Kedua (P)


Atau (P V Q)

Nilai : Benar Salah Benar
Benar Benar Salah
Benar Salah Salah
Benar Benar Salah

Tabel 1. Logika ‘Atau’



Bila variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih, variabel ‘dan’ pada “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” menghadirkan situasional keterikatan. “Kebenaran Puisi” sejalan dengan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” memiliki keterikatan dengan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti pula mengikutsertakan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” tidak dapat mengenyahkan “Kebenaran Agama”; begitu pula sebaliknya. Situasional “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” muncul dalam perumpamaan sepakbola Inggris yang dikenal dengan slogan “kick and rush”. “Kick” punya keterikatan intrinsik dengan “Rush”; antara “menendang” dilanjutkan dengan “melesat”. Asumsi pada logika variabel ‘dan’ sebangun dengan asumsi pada logika variabel ‘atau’, yakni pengosongan makna. Dalam ilmu logika, pola baku variabel ‘dan’ sbb:


Entitas Pertama (P)
Entitas Kedua (P)


Dan (P Λ Q)

Nilai: Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah

Tabel 2. Logika ‘Dan’



Disamping pemilihan diksi-logis, ada juga permasalahan menarik yang bisa diambil dari penjudulan “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu bisa saja dianggap sama dan sebangun dengan frase “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”. Namun, anggapan sama dan sebangun tersebut, tidak sepenuhnya tepat. Anggapan tersebut, menurut saya, melalaikan keberadaan unsur prioritas primair secara kronologis. Dari sisi penempatan, “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”; bukan sebaliknya. Lantas, bagaimana Adonis mempertanggungjawabkan untaian kronologis: “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”?

Penjabaran pertanggungjawaban Adonis atas untaian kronologis “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” bersumber dari analisa historis dia atas perkembangan puisi dan perkembangan agama di dunia Arab. Selanjutnya, Adonis mengelaborasi pendekatan historis dengan ‘teori pengetahuan’-nya yang berpijak pada gagasan penyair sufi asal Afghanistan Jallaludin Rumi.

Dari riset historis, Adonis menemukan bukti bahwa tradisi puisi lebih dahulu ada di dunia Arab sebelum agama. Agama di dunia Arab, khususnya Islam, menurut Adonis, berasal dari tradisi bangsa Ibrani, yakni Ibrahim dengan kitab Talmud. Akulturasi kultural mempertemukan Arab dengan Ibrani hingga melahirkan Islam. Problematisasi historis tersebut, menurut saya, dibahas Adonis untuk membuktikan bahwa sebelum kehadiran Islam di dunia Arab, dunia Arab sendiri sebenarnya sudah ‘mengenali’ wajah Tuhan. Wajah Tuhan sebelum munculnya Islam dikenal lewat puisi-puisi para penyair Arab sebelum kemunculan Islam. Puisi-puisi penyair Arab pada masa tersebut merupakan representasi dari ‘dialog’ penyair dengan Yang Gaib.

Jabaran historis tadi dielaborasi Adonis dengan gagasan Jallaludin Rumi tentang asas pengetahuan indrawi dan spiritual, yakni tajjalî (manifestasi). Dalam makalahnya, Adonis menuliskan:


“[Tajjalî] adalah gambaran-gambaran dari kebenaran yang sinarnya terus memancar kepada cermin hati dan indrawi, selanjutnya dipantulkan kepada cermin nalar, sehingga lahir dari keduanya “pengetahuan rasa” (al-ma’rifah al-dzawqiyah), yakni pengetahuan yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) yang diperoleh secara langsung tanpa perantara. Dengan ungkapan lain, pengetahuan bagi Rumi adalah penyingkapan terhadap hakikat dengan terlepasnya hijab-hijab hati, indra dan akal, sehingga cahaya kegaiban terpancar.”


Dari sudut pandang demikian, maka puisi yang dimaksud oleh Adonis mengacu pada pengetahuan rasa, yang oleh kalangan sufi disebut sebagai “alam rasa” (‘alam al-adzwaq). Puisi yang dihasilkan para penyair Arab sebelum kemunculan Islam sesungguhnya berkenaan dengan upaya penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Dan agama, seturut dengan konteks pembicaraan Adonis: Islam, menempati posisi yang sama dengan puisi secara historis, yakni sebagai pengetahuan rasa yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) melalui penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Terkait dengan status kebenaran dari puisi dan agama, Adonis menegaskan: “Pengetahuan [rasa] tidak akan salah karena kesalahan hanya lahir dari kebenaran teoritis dan abstrak semata.”

Maka teranglah bahwa “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” dikarenakan Adonis mempertimbangkan faktor historis puisi dan agama di dunia Arab, yang selanjutnya dielaborasi dengan ‘teori pengetahuan’ Jallaludin Rumi, dimana hanya pengetahuan rasa (al-ma’rifah al-dzawqiyah) sajalah yang memampukan manusia mencapai kebenaran mutlak (absolute truth). Secara implisit, menurut saya, Adonis hendak menyampaikan pesan: Puisi dan Agama adalah wahana untuk menggapai kebenaran mutlak, kebenaran yang bersumber dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci! (Dan, secara implisit juga, Adonis berharap kebenaran mutlak tersebut tidak dipahami sebagai kebenaran tunggal; sebab kebenaran tunggal dapat berujung pada kekerasan yang-satu terhadap yang-lain!)


Saya pikir, “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” dapat disejajarkan dengan api dan epidemi yang sama-sama menghadirkan gelisah bunyi bagi aku yang berdiam di dalam dunia sunyi, sebagaimana petikan sajak Adonis yang bertajuk ‘Takluk’ pada bagian pembuka risalah ini. Sebab, bukankah memikul puisi dan agama adalah sama-sama menyakitkan, juga menggelisahkan? Tidakkah sejarah para nabi pun melukiskan betapa jalan pengharapan menuju Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci adalah juga via dolorosa, jalan derita sekaligus siksa? Demikianlah, dari jarak sekitar 10 meter saya mendengar Adonis, Raja dari Siria, berujar: “Saya mengkritik Islam karena saya mencintai Islam.” Cinta bukan selalu berarti bahagia; Cinta juga bisa bermakna airmata.



Sumber Utama:

Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama, Adonis, 2008

0 komentar: