Kamis, 08 Desember 2011

Selasa, 07 April 2009

RETAK




I/
disepertiga malam. bocah yang menatap kiblat itu tersungkur ke lubuk sinar. seperti bebatang lilin ia lalu melelehkan airmatanya menetesi lecut hati yang berkobar ke langit-langit Sakral_
“kemanakah gerhana bulan itu: matahari yang padam separuh, jika tidak tenggelam ke lubuk retak para hamba:
yang akalnya tumpah
kalbunya tumpah
kehadirat wajah silauMu, ya Allah…”

II/
di gubuk sempit padam. beratap tampung hujan.
bedzikir terus lidah. begoncang segala madah.

“kemanakah ujud cahaya bulan purnama: tempiaslah ke lubuk Matahari!”

III/
dan pemintal kegelapan lalu membuka pintu dan jendela angkasa menyambut lungkai jari-jemari dengan geletar suara Salam: merontokkan bulu-bulu pelir dan vagina. dan satu-persatu kulit hurup-hurup Salam itu mengelupas lelembar mirip alat-alat surga dan neraka.

“bulan dan segenap bintang, kini telah tenggelam…”

IV/
dan bocah uang tersungkur ke lubuk sinar itu tiba-tiba retak ditampar-tampar silau:
di pusat kegelapan menghantam-hantam. hilang.

[06/04/09]

Rabu, 01 April 2009

SESEORANG LAIN



Seseorang lain darimana entah siapa
Sesopan angin datang kepadaku ketuk kamar
Masuk ke dalam tidur

Ia ingin menyampaikan amanat
Mungkin surat_mungkin alamat

Sesopan angin ia datang untuk
orang-orang khianat
yang terhormat. Tapi siapa tak hikmat
siapa tak ketika itu ingat pada kiamat,
seluruh umat melayat.

Seseduh nafas para syuhada. Ia lalu mati
Pelan-pelan. Termenung ia kekasih tersayang

Seperti topan yang sopan
Seseorang lain dari tuhannya
Menarik senja di dadanya

Ia kini telah berangkat
Mendarat dengan apa?

[21/03/2009]

Adonis:Puisi Memerdekakan Kita

Sejak bertahun-tahun lalu, telah kuucapkan selamat berpisah padamu, telah aku bacakan elegi yang kebingungan, O, aura malaikat-malaikat mati, O, bahasa belalang kabur

ADONIS namanya. Kelabu rambutnya. Berkibar bagai surai singa tua. Umurnya 78, tapi suaranya?termasuk saat membaca puisi itu di kantor Tempo awal November lalu?masih berdaya. ?Perempuan dan cinta,? kata penyair asal Suriah itu tentang resep awet mudanya. Lama tinggal di Paris, dia terlihat necis dan menyala dengan jas tweed kelabu serta kemeja merah marun.

Dia datang ke Indonesia untuk berceramah di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Adonis melancong ke Candi Borobudur sebelum meluncurkan buku puisinya, Aghani Mihyar al-Dimashqi (Nyanyian Mihyar dari Damaskus), dalam bahasa Indonesia. Puisi berjudul Salam Perpisahan yang dia baca di atas adalah satu sajak dalam buku tersebut.

Di Indonesia, Adonis memang tak seterkenal sastrawan Arab lain, seperti Kahlil Gibran, Naguib Mahfouz, atau Nawal el-Saadawi. Tapi sudah empat kali Adonis menjadi calon penerima hadiah Nobel Sastra. Dia dianggap salah satu penyair terpenting Arab yang masih hidup. Tak cuma membuat puisi, Adonis adalah cendekiawan kreatif dan provokatif. Selama puluhan tahun ia meneliti sejarah puisi Arab dan membuat disertasi empat jilid tentang Arab dan Islam. Hasilnya?

Ia sampai pada kesimpulan bahwa wahyu Islam, dan agama samawi lain, merendahkan puisi sebagaimana Plato memandangnya sebagai kesesatan. Pada awalnya masyarakat Arab menganggap puisi sebagai sumber pengetahuan dalam menemukan kebenaran. Namun, dengan kedatangan wahyu agama, puisi direndahkan menjadi sekadar perkakas karena wahyu agama menyiratkan kebenaran sudah final. Tak ada tempat lagi bagi puisi.

Kendati kritis terhadap Islam, Adonis mengaku tidak menyesal dilahirkan sebagai seorang muslim. Kritik terhadap Islam dia lakukan karena cinta. ?Kalau saya tidak cinta, buat apa memikirkannya? Saya memikirkannya karena menganggap Islam penting buat hidup saya,? ujarnya. Ia berpendapat ateisme merupakan ?agama? paling tua.

Tapi kesimpulan terpenting Adonis saat mempertentangkan teks wahyu dan puisi adalah teks wahyu cenderung membawa kita pada pertentangan dan perselisihan karena keabsolutannya dalam mengangkangi kebenaran. Wahyu itu jawaban pasti, kebenaran yang ditawarkannya tunggal. Puisi adalah pertanyaan yang bebas ditafsirkan berbeda oleh setiap orang.

Sejumlah anggota redaksi Tempo mewawancarainya. Adonis menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Arab, yang dia sebut sebagai ?bahasa ibu?-nya, diselingi bahasa Prancis. Berikut ini petikannya.

Apa saja yang Anda pelajari sebelum menyimpulkan bahwa kebenaran puisi serta kebenaran wahyu bertolak belakang?

Saya menghabiskan waktu panjang untuk sampai pada kesimpulan itu. Di masa kecil, saya mendapat pendidikan agama dan sastrawi. Saya menguasai Al-Quran dan puisi secara bersamaan. Mendapat pendidikan dari dua sisi, tentu membahagiakan. Tapi saya melihat ada masalah kebudayaan mendasar dalam Islam.

Sebelum Islam, puisi menjadi sumber kebenaran. Tapi, setelah kedatangan Islam, kebenaran harus bersumber dari wahyu saja. Tak ada lagi kebenaran bersumber puisi. Dari situ saya mulai membaca Al-Quran dengan penuh pertanyaan, bukan dengan kacamata seorang beriman. Saya lalu sampai pada kesimpulan Al-Quran menganggap puisi sebagai sumber kesesatan dan penyair adalah orang yang menyebarkan kesesatan.

Apakah teks puisi bisa menjadi sumber kebenaran selain teks agama?

Berkali-kali membaca puisi Arab, saya tidak melihat ada kesesatan. Sebaliknya, puisi memberi kebenaran mendalam. Ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas, menjadi modal mencipta. Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita kebenaran mutlak, final, sempurna.

Jika kebenaran sudah paripurna seperti itu, tak ada lagi ruang untuk mencari kebenaran. Semua sudah selesai. Tidak ada tempat bagi manusia untuk berpikir. Satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah menaati apa yang telah disampaikan oleh wahyu. Teks agama menutup cakrawala pencarian kebenaran, dan sebaliknya, teks puisi membuka pintu bagi kita untuk mencari kebenaran. Di sinilah pertentangan wahyu dan puisi. Sejak menyadari hal itu, saya mencoba untuk tidak melihat dalam kacamata agama. Saya menggunakan kacamata puisi dan kemanusiaan.

Bukankah yang ditentang adalah puisi dekaden? Puisi yang mengajak kebaikan malah dianjurkan. Di Indonesia, banyak ulama yang bersyair....

Tak ada teks Al-Quran yang memuji atau menganjurkan puisi. Sebaliknya, teks Al-Quran merendahkan puisi. (Adonis mengutip sejumlah ayat dari surat Asy-Syuara/Para Penyair, ayat 224-226: ?Dan para penyair diikuti oleh mereka yang sesat. Tidakkah kau melihat sesungguhnya mereka mengembara ke setiap lembah dan mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.?)

Tapi, dalam agama selalu ada dua dimensi: dimensi teks dan dimensi sejarah. Nabi sendiri memakai para penyair (untuk kepentingan agama). Penyair pertama yang dipakai adalah Hassan bin Tsabit. Meski puisi mendapat tempat, maknanya telah dihilangkan, perannya dikebiri. Puisi tidak lagi menjadi sumber kebenaran, tapi perantara untuk melayani agama. Dan ketika puisi menjadi alat melayani agama, berakhirlah dia. Syair menjadi lemah. Ini terbukti dengan berhentinya produksi puisi pada 50 tahun pertama Hijriah. Mereka yang mengutip ayat untuk puisi bukanlah penyair.

Bagaimana dengan Imam Syafii yang banyak menulis puisi?
Bahkan dia. Orang yang kehilangan sesuatu tak akan bisa memberi sesuatu.

Apa yang hilang? Kebebasankah?

Bukan hanya kebebasan. Penyair harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Untuk menulis puisi, manusia harus hidup di dalam puisi. Ungkapan seorang penyair amat berbeda dengan cara pemikir, filsuf, alim ulama, atau ahli agama. Saat melihat jendela, seorang pemikir berkata, jendela ini persegi panjang. Tapi penyair bisa bilang jendela adalah perempuan yang membentangkan kedua tangannya.

Bukankah kritik Al-Quran ditujukan bagi para penyair dekaden?

Kalau memang hanya penyair dekaden yang dikritik Al-Quran, semestinya nama mereka saja disebut satu per satu. Tapi kan kritik di Al-Quran menyeluruh untuk semua penyair. Kritik Al-Quran terhadap puisi bukan soal individu, tapi karena puisi dipakai sebagai sumber kebenaran.

Jadi Anda menafikan peran agama sebagai sumber ilham puisi?

Agama adalah sebuah hubungan antara manusia dan sesuatu yang tak terketahui. Ia diciptakan agar ada jawaban pasti untuk semua yang tidak kita ketahui, seperti kematian. Sebenarnya, rasa penasaran seperti ini sudah ada dalam diri manusia sejak dulu kala. Islam?dan agama-agama monoteis?memberi solusi dan jawaban tentang hal-hal tersebut. Jawaban itulah yang kemudian menjadi keyakinan. Dan keyakinan selalu bertentangan dengan puisi. Keyakinan apa pun.

Dalam tradisi agama, ada peran syair yang hebat. Zen melahirkan Haiku, Yahudi punya Kaballa, Tagore mengutip Veda, Iqbal dengan Al-Quran. Di Jawa, salah satu puncak kesusastraan muncul saat para pendeta berpuisi....

Pertama, yang kita bicarakan di sini adalah agama monoteis. Kedua, keyakinan pasti bisa menjadi sumber puisi. Bahkan ideologi politik bisa menjadi sumbernya. Masalahnya, seberapa bagus kualitasnya. Puisi-puisi yang muncul dari keyakinan adalah kelas dua, merupakan bagian dari propaganda ideologi dan mendukung keyakinan. Puisi sejati adalah yang mampu membakar, melintasi, dan melampaui segala keyakinan. Seperti Al-Hallaj dan Ibn Arabi.

Bagaimana dengan semangat melahirkan sastra islami?

Agama tidak memiliki seni. Kalau ada puisi islami, berarti ada sinema islami, ada tarian islami, nyanyian islami. Sebutan itu bertentangan dengan agama. Standarnya apa kita menyebut seni itu islami atau tidak?

Untuk menjadi penyair yang baik, haruskah orang keluar dari ikatan agama dan keyakinan?

Mereka yang tidak dapat lepas dari kungkungan eksternal ataupun internal tidak akan mungkin menjadi penyair. Selama kita segan menyatakan apa yang ada dalam diri kita, kita tidak dapat berpuisi. Misalnya soal seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan karena orang yang taat beragama merasa tabu mengungkapkannya.

Bukankah penyair Abu Nawas yang semula dikenal liberal, bahkan dekaden, di akhir hidupnya kembali ke agama?

Abu Nawas, penyair abad ke-2 Hijriah (ke-8 Masehi), adalah tonggak baru yang memisahkan puisi sebelum dan sesudahnya. Dia memasukkan kemodernan dalam puisi Arab. Dia membangun imajinasi kota, seperti anggur, jalanan, gedung-gedung, dan wanita, ke dalam puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil obyek desa. Dia yang pertama menulis puisi seks dan homoseksualitas. Misalnya, ?Seseorang datang bersama gulamnya.? Gulam adalah sebutan untuk pria piaraan. Sayang, saya tidak bisa melihat keindahan itu karena saya tetap menyukai perempuan ha-ha-ha?. Tapi puisi ini berperan penting dalam sejarah puisi Arab.

Anda mulai menulis puisi sejak umur 12 tahun. Apa sumber inspirasi Anda?

Cinta. Perempuan ha-ha-ha?.
Apa yang lebih Anda yakini, agama atau kebebasan?
Kebebasan. Saya percaya pada kebebasan.

Apakah Anda ateis?

Saya tidak suka membahas sesuatu yang dapat membuat kita terlihat hina. Saya meletakkan diri di luar keimanan dan di luar keateisan. Terutama, karena ateis adalah istilah yang dikeluarkan oleh agama untuk musuh mereka.

Kenapa Anda menggunakan nama Adonis?

Wah, ceritanya panjang. Sejak umur 12 tahun saya sudah menulis puisi dan mengirimkannya ke sejumlah majalah dengan nama Ali Ahmad Said. Tapi tak ada yang menerbitkannya. Saya sedih sekali, hingga suatu malam saya membaca mitologi tentang Adonis. Dia dewa Yunani yang mencintai keindahan. Suatu kali dia berburu ke hutan dan diserang babi hutan. Dari tetesan darahnya tumbuh bunga merah. Di Beirut, setiap tahun kami punya upacara di Sungai Adonis yang mengalirkan air merah. Konon, legenda mengatakan itulah darah Adonis. Sebenarnya gerusan tanah. Saya tercengang oleh cerita tersebut dan sejak saat itu saya menulis puisi dengan nama Adonis. Saat berusia 15 tahun, puisi saya akhirnya diterbitkan di halaman depan sebuah majalah. Saya diminta datang ke kantor majalah itu dengan pakaian lusuh. Tak ada yang percaya saya Adonis. Pemimpin redaksi terheran-heran karena menyangka Adonis bukanlah anak muda dan miskin seperti saya.

Rabu, 03 Desember 2008

ADONIS ALIAS ALI AHMAD SAID

Tempat dan Tanggal Lahir:
Al-Qassabin, Latakia, Suriah, 1930?kini berdiam di Paris.

Selasa, 31 Maret 2009

Ballada Soe Marda Paranggana

menulislah kekasih!menulislah tentang hidup dan mati

hidup ini adalah tabrakan milyaran realita
antara Bom Allah dan bumi hati manusia
antara peristiwa dan tragedi alam semesta

hidup ini adalah tabrakan milyaran realita
antara buta dan mata batin cahaya
antara gerak manusia dan gejara-gejala yang terbuka
antara api kata yang berkobar dan kayu kering moksa
antara kaki penguasa dan tanah derita rakyat jelata
antara baling-baling dan udara
antara angin zat vitamin dan klorofil daun tubuh
seluruh makhluk Allah

antara antara badan angkara akar matahari
sungai batin tanah bulan hujan batu malam
batu penis dan vagina

menulislah kekasih!
menulislah tentang hidup ada sedalam kalbu apa saja
yang kau pahami lebih ceruk dari palung lubang rahasia
seluruh benda benda yang Allah ciptakan untuk segenap makhluk
yang luar biasa!

antara huruf-huruf hidup dan angka-angka mati
antara naza’ dam nafas yang lepas

menulislah kekasih!
menulislah tentang maut yang mencekam dan hidup hakekat
setelah itu. hingga aku paham bahwa wajah sebenarnya
dari dirimu adalah kasih sayang Allah dan RasulNya. hingga aku
dapat menatapmu lebih rahasia lebih melihat
ke kedalaman rahang pintu-pintu
dalam diriku bunga-bunga tumbuh bermekaran.

hingga aku dapat membaca siapa sebenarnya aku
di antara Daud Musa Isa Muhammad dan ribuan manusia aku
masih sia-sia. di antara album photo dan lukisan
dan tayangan televise. di antara tumbuhan dan binatang
dan planet-planet ayat yang Sembilan itu: di antara milyaran
galaksi bima sakti dan sinar-sinar yang memancar ke arah
penglihatan mata batin aku masih sia-sia.

menulislah kekasih!
menulislah tentang ilmu-ilmu Allah yang masih tak
terkuak hingga seakan-akan kiamat harus diundur ke lain saat.

menulislah kekasih!
menulislah dengan pedang hati dan akalmu taklukkan singkap tebas leher waktu
dan usiamu,sampai mengucur darah pesona antara kau dan aku antara kau dan aku.

kekasih! menulislah
sejak mula aku dahaga
sampai luap perut batin dan akalku
oleh sesak cahaya oleh segar curahan sajak sukma dada realita.

menulislah kekasih!
biar bila aku haus tak saja harus minum air putih tapi hangat rahasia Allah dan potlotmu. biar bila aku lapar tak saja makan padi tapi nikmat kata-katamu.

menulislah aku haus dan lapar
bukan harus kenapa harus sajak dan kata-kata:

[29-30/03/2009]

ADONIS




“I live between the fire and the plague

with my language—with this mute universe”

The Fall (Adonis)




“Aku hidup di antara api dan epidemi

bersama gelisah bunyi—di dalam dunia sunyi”

Takluk (Adonis)


ADONIS adalah Ali Ahmad Said. Lahir pada 1930 di Qassabin, Siria. Bila ditilik dari sudut etimologi, Adon berasal dari bahasa Semit, adon, yang bermakna “Raja”. Sebelum memulai kuliah umum di ruang blackbox theatre Salihara pada 3 November 2008, ada narasi yang bercerita tentang musabab sempat mengungkapkan bahwa alasan Ali Ahmad Said menggunakan nama pena: Adonis. Diceritakan bahwa penggunaan nama tersebut dikarenakan Ali Ahmad Said merasa bahwa ‘kegagalan’ puisinya lolos seleksi bersumber pada namanya; itulah yang menyebabkan ia menggunakan nama pena: Adonis. Ternyata, strateginya berhasil. Bentala internasional mengenal Ali Ahmad Said sebagai Adonis, Adonis of Syria, Raja dari Siria.

Pada kuliah umum di blackbox theatre Salihara, peraih gelar Philosophical Doctor dari St. Joseph University, Beirut, Lebanon, pada 1973 ini memaparkan makalah bertajuk “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. Di dalam makalahnya, Adonis mengajukan tesis: “Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya berlawanan/bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama.” Bila tesis tersebut dikembalikan kepada judul makalah, hasilnya: kontradiksi. Bagaimana mungkin ‘yang bertolak belakang’ (pada tesis) bersanding dengan ‘dan’ (pada judul)?

Lepas dari kontradiksi antara judul dengan tesis, artikel ini saja tujukan untuk membahas (1) dimensi logika dari judul makalah, dan (2) dimensi kronologis penempatan frase. Penjernihan atas kontradiksi antara tesis dengan judul akan saya bahas pada bagian yang terpisah dari tulisan ini, disebabkan penjelasan terkait kontradiksi tersebut mengacu pada pola pikir dialektis yang dimajukan Adonis sebagai kerangka utama penyusunan makalah tersebut.


Makna “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu beda dengan makna “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama”. Pada yang kedua, variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih. Situasional memilih berarti memilih salah satu dari antara dua pilihan yang tersedia. Tindakan memilih yang-satu diikuti dengan tindakan mengenyahkan yang-lain. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti menendang “Kebenaran Agama”, memilih “Kebenaran Agama” berarti mencampakkan “Kebenaran Puisi”. Secara tidak langsung tindakan memilih yang-satu dapat berarti bahwa yang-satu itulah yang benar, sedangkan yang-lain adalah salah. Namun, kesimpulan yang begitu tidaklah selalu benar, menurut saya. Adalah lebih tepat bila dinyatakan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak ditujukan untuk menyalahkan yang-lain; meski selalu ada kecenderungan rasional untuk menyatakan bahwa ketika yang-satu dipilih, maka yang-lain adalah salah.

Apa yang saya maksudkan tak jauh beda ketika kita diperhadapkan pada pilihan mengunjungi teman yang sedang sakit atau pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis. Dalam situasional memilih tersebut, andaikan kita memutuskan untuk pergi mengunjungi teman yang sedang sakit, bukanlah berarti pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis adalah salah; begitu pula sebaliknya. Melalui perumpamaan ini pulalah saya menegaskan bahwa asumsi yang saya atas permasalahan “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama” adalah pengosongan makna dari “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” sebagai pilihan disetarakan dengan “mengunjungi teman yang sakit” dan “pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis”.

Asumsi pengosongan makna saya tujukan untuk melihat permasalahan variabel ‘atau’ dalam kepenuhan ‘atau’ itu sendiri sebagai simbolisasi dari suatu situasional memilih. Seturut dengan ilmu logika, asumsi pengosongan yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak selalu berarti menyalahkan yang-lain. Dalam ilmu logika, variabel ‘atau’ yang menghubungkan dua entitas hanya menghasilkan konklusi yang bernilai salah apabila entitas pertama, atau katakanlah “Kebenaran Puisi”, bernilai salah, dan entitas kedua, atau katakanlah “Kebenaran Agama”, bernilai salah juga. Namun, apabila entitas pertama bernilai benar dan entitas kedua bernilai benar, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan dengan variabel ‘atau” adalah benar. Bila entitas pertama bernilai salah/benar dan entitas kedua bernilai benar/salah, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan oleh variabel ‘atau’ adalah benar. Pola baku penalaran logika ‘atau’ sbb:


Entitas Pertama (P)
Entitas Kedua (P)


Atau (P V Q)

Nilai : Benar Salah Benar
Benar Benar Salah
Benar Salah Salah
Benar Benar Salah

Tabel 1. Logika ‘Atau’



Bila variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih, variabel ‘dan’ pada “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” menghadirkan situasional keterikatan. “Kebenaran Puisi” sejalan dengan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” memiliki keterikatan dengan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti pula mengikutsertakan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” tidak dapat mengenyahkan “Kebenaran Agama”; begitu pula sebaliknya. Situasional “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” muncul dalam perumpamaan sepakbola Inggris yang dikenal dengan slogan “kick and rush”. “Kick” punya keterikatan intrinsik dengan “Rush”; antara “menendang” dilanjutkan dengan “melesat”. Asumsi pada logika variabel ‘dan’ sebangun dengan asumsi pada logika variabel ‘atau’, yakni pengosongan makna. Dalam ilmu logika, pola baku variabel ‘dan’ sbb:


Entitas Pertama (P)
Entitas Kedua (P)


Dan (P Λ Q)

Nilai: Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah

Tabel 2. Logika ‘Dan’



Disamping pemilihan diksi-logis, ada juga permasalahan menarik yang bisa diambil dari penjudulan “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu bisa saja dianggap sama dan sebangun dengan frase “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”. Namun, anggapan sama dan sebangun tersebut, tidak sepenuhnya tepat. Anggapan tersebut, menurut saya, melalaikan keberadaan unsur prioritas primair secara kronologis. Dari sisi penempatan, “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”; bukan sebaliknya. Lantas, bagaimana Adonis mempertanggungjawabkan untaian kronologis: “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”?

Penjabaran pertanggungjawaban Adonis atas untaian kronologis “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” bersumber dari analisa historis dia atas perkembangan puisi dan perkembangan agama di dunia Arab. Selanjutnya, Adonis mengelaborasi pendekatan historis dengan ‘teori pengetahuan’-nya yang berpijak pada gagasan penyair sufi asal Afghanistan Jallaludin Rumi.

Dari riset historis, Adonis menemukan bukti bahwa tradisi puisi lebih dahulu ada di dunia Arab sebelum agama. Agama di dunia Arab, khususnya Islam, menurut Adonis, berasal dari tradisi bangsa Ibrani, yakni Ibrahim dengan kitab Talmud. Akulturasi kultural mempertemukan Arab dengan Ibrani hingga melahirkan Islam. Problematisasi historis tersebut, menurut saya, dibahas Adonis untuk membuktikan bahwa sebelum kehadiran Islam di dunia Arab, dunia Arab sendiri sebenarnya sudah ‘mengenali’ wajah Tuhan. Wajah Tuhan sebelum munculnya Islam dikenal lewat puisi-puisi para penyair Arab sebelum kemunculan Islam. Puisi-puisi penyair Arab pada masa tersebut merupakan representasi dari ‘dialog’ penyair dengan Yang Gaib.

Jabaran historis tadi dielaborasi Adonis dengan gagasan Jallaludin Rumi tentang asas pengetahuan indrawi dan spiritual, yakni tajjalî (manifestasi). Dalam makalahnya, Adonis menuliskan:


“[Tajjalî] adalah gambaran-gambaran dari kebenaran yang sinarnya terus memancar kepada cermin hati dan indrawi, selanjutnya dipantulkan kepada cermin nalar, sehingga lahir dari keduanya “pengetahuan rasa” (al-ma’rifah al-dzawqiyah), yakni pengetahuan yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) yang diperoleh secara langsung tanpa perantara. Dengan ungkapan lain, pengetahuan bagi Rumi adalah penyingkapan terhadap hakikat dengan terlepasnya hijab-hijab hati, indra dan akal, sehingga cahaya kegaiban terpancar.”


Dari sudut pandang demikian, maka puisi yang dimaksud oleh Adonis mengacu pada pengetahuan rasa, yang oleh kalangan sufi disebut sebagai “alam rasa” (‘alam al-adzwaq). Puisi yang dihasilkan para penyair Arab sebelum kemunculan Islam sesungguhnya berkenaan dengan upaya penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Dan agama, seturut dengan konteks pembicaraan Adonis: Islam, menempati posisi yang sama dengan puisi secara historis, yakni sebagai pengetahuan rasa yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) melalui penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Terkait dengan status kebenaran dari puisi dan agama, Adonis menegaskan: “Pengetahuan [rasa] tidak akan salah karena kesalahan hanya lahir dari kebenaran teoritis dan abstrak semata.”

Maka teranglah bahwa “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” dikarenakan Adonis mempertimbangkan faktor historis puisi dan agama di dunia Arab, yang selanjutnya dielaborasi dengan ‘teori pengetahuan’ Jallaludin Rumi, dimana hanya pengetahuan rasa (al-ma’rifah al-dzawqiyah) sajalah yang memampukan manusia mencapai kebenaran mutlak (absolute truth). Secara implisit, menurut saya, Adonis hendak menyampaikan pesan: Puisi dan Agama adalah wahana untuk menggapai kebenaran mutlak, kebenaran yang bersumber dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci! (Dan, secara implisit juga, Adonis berharap kebenaran mutlak tersebut tidak dipahami sebagai kebenaran tunggal; sebab kebenaran tunggal dapat berujung pada kekerasan yang-satu terhadap yang-lain!)


Saya pikir, “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” dapat disejajarkan dengan api dan epidemi yang sama-sama menghadirkan gelisah bunyi bagi aku yang berdiam di dalam dunia sunyi, sebagaimana petikan sajak Adonis yang bertajuk ‘Takluk’ pada bagian pembuka risalah ini. Sebab, bukankah memikul puisi dan agama adalah sama-sama menyakitkan, juga menggelisahkan? Tidakkah sejarah para nabi pun melukiskan betapa jalan pengharapan menuju Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci adalah juga via dolorosa, jalan derita sekaligus siksa? Demikianlah, dari jarak sekitar 10 meter saya mendengar Adonis, Raja dari Siria, berujar: “Saya mengkritik Islam karena saya mencintai Islam.” Cinta bukan selalu berarti bahagia; Cinta juga bisa bermakna airmata.



Sumber Utama:

Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama, Adonis, 2008

Sabtu, 28 Maret 2009

KEPADA ANAK PEREMPUANKU



Semoga DIA menjadikanmu manusia yang halus perasaannya sedemikian halus, hingga dapat kaurasakan derita orang-orang yang terlunta di lorong-lorong peradaban dan dapat kau jelang mereka dengan penuh kasih sayang karena mereka adalah bagian dari dirimu juga, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang tajam pemikirannya sedemikian tajam, hingga dapat kau pecahkan buih-buih kebencian yang meracuni pengetahuan dan jernihlah muara sejernih hulunya karena abadinya nilai-nilai kesempurnaan tak dapat digantungkan kepada apa pun lagi selain kepada bening cintamu, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang kuat sendirian sedemikian kuat, hingga ketika kau telah mampu hidup tanpa bergantung kau pun mampu memilih untuk seutuhnya tergantung kepada siapa pun yang dihadirkanNYA untukmu karena kau sadar bahwa kau memang tercipta untuk dinikahi, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang tinggi martabatnya sedemikian tinggi, hingga dapat kau rendahkan hatimu serendah-rendahnya dan tangguhlah azab bagi mereka yang belum ridho mengesakanNYA sungguh esalah sucimu hanya dengan DIA sebagai saksi karena kenyataanmu memanglah tersembunyi, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang dapat menahan pandangan sedemikian tahan, hingga ingatanmu kepadaNYA mampu menghanguskan setiap nafsu yang menyerang dari dalam dan luar dirimu dan menjadi cahaya lah wajahmu bagi pencari kebenaran serta hanya cadar hitam lah rupamu bagi pencari pembenaran karena hanya DIA lah yang kau jumpa dan hanya wajah NYA yang kau damba setiap kau temukan dirimu dalam cinta
dan..........
DIA lah hijab dihadapan siapa pun kau berada.