Selasa, 07 April 2009

RETAK




I/
disepertiga malam. bocah yang menatap kiblat itu tersungkur ke lubuk sinar. seperti bebatang lilin ia lalu melelehkan airmatanya menetesi lecut hati yang berkobar ke langit-langit Sakral_
“kemanakah gerhana bulan itu: matahari yang padam separuh, jika tidak tenggelam ke lubuk retak para hamba:
yang akalnya tumpah
kalbunya tumpah
kehadirat wajah silauMu, ya Allah…”

II/
di gubuk sempit padam. beratap tampung hujan.
bedzikir terus lidah. begoncang segala madah.

“kemanakah ujud cahaya bulan purnama: tempiaslah ke lubuk Matahari!”

III/
dan pemintal kegelapan lalu membuka pintu dan jendela angkasa menyambut lungkai jari-jemari dengan geletar suara Salam: merontokkan bulu-bulu pelir dan vagina. dan satu-persatu kulit hurup-hurup Salam itu mengelupas lelembar mirip alat-alat surga dan neraka.

“bulan dan segenap bintang, kini telah tenggelam…”

IV/
dan bocah uang tersungkur ke lubuk sinar itu tiba-tiba retak ditampar-tampar silau:
di pusat kegelapan menghantam-hantam. hilang.

[06/04/09]

Rabu, 01 April 2009

SESEORANG LAIN



Seseorang lain darimana entah siapa
Sesopan angin datang kepadaku ketuk kamar
Masuk ke dalam tidur

Ia ingin menyampaikan amanat
Mungkin surat_mungkin alamat

Sesopan angin ia datang untuk
orang-orang khianat
yang terhormat. Tapi siapa tak hikmat
siapa tak ketika itu ingat pada kiamat,
seluruh umat melayat.

Seseduh nafas para syuhada. Ia lalu mati
Pelan-pelan. Termenung ia kekasih tersayang

Seperti topan yang sopan
Seseorang lain dari tuhannya
Menarik senja di dadanya

Ia kini telah berangkat
Mendarat dengan apa?

[21/03/2009]

Adonis:Puisi Memerdekakan Kita

Sejak bertahun-tahun lalu, telah kuucapkan selamat berpisah padamu, telah aku bacakan elegi yang kebingungan, O, aura malaikat-malaikat mati, O, bahasa belalang kabur

ADONIS namanya. Kelabu rambutnya. Berkibar bagai surai singa tua. Umurnya 78, tapi suaranya?termasuk saat membaca puisi itu di kantor Tempo awal November lalu?masih berdaya. ?Perempuan dan cinta,? kata penyair asal Suriah itu tentang resep awet mudanya. Lama tinggal di Paris, dia terlihat necis dan menyala dengan jas tweed kelabu serta kemeja merah marun.

Dia datang ke Indonesia untuk berceramah di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Adonis melancong ke Candi Borobudur sebelum meluncurkan buku puisinya, Aghani Mihyar al-Dimashqi (Nyanyian Mihyar dari Damaskus), dalam bahasa Indonesia. Puisi berjudul Salam Perpisahan yang dia baca di atas adalah satu sajak dalam buku tersebut.

Di Indonesia, Adonis memang tak seterkenal sastrawan Arab lain, seperti Kahlil Gibran, Naguib Mahfouz, atau Nawal el-Saadawi. Tapi sudah empat kali Adonis menjadi calon penerima hadiah Nobel Sastra. Dia dianggap salah satu penyair terpenting Arab yang masih hidup. Tak cuma membuat puisi, Adonis adalah cendekiawan kreatif dan provokatif. Selama puluhan tahun ia meneliti sejarah puisi Arab dan membuat disertasi empat jilid tentang Arab dan Islam. Hasilnya?

Ia sampai pada kesimpulan bahwa wahyu Islam, dan agama samawi lain, merendahkan puisi sebagaimana Plato memandangnya sebagai kesesatan. Pada awalnya masyarakat Arab menganggap puisi sebagai sumber pengetahuan dalam menemukan kebenaran. Namun, dengan kedatangan wahyu agama, puisi direndahkan menjadi sekadar perkakas karena wahyu agama menyiratkan kebenaran sudah final. Tak ada tempat lagi bagi puisi.

Kendati kritis terhadap Islam, Adonis mengaku tidak menyesal dilahirkan sebagai seorang muslim. Kritik terhadap Islam dia lakukan karena cinta. ?Kalau saya tidak cinta, buat apa memikirkannya? Saya memikirkannya karena menganggap Islam penting buat hidup saya,? ujarnya. Ia berpendapat ateisme merupakan ?agama? paling tua.

Tapi kesimpulan terpenting Adonis saat mempertentangkan teks wahyu dan puisi adalah teks wahyu cenderung membawa kita pada pertentangan dan perselisihan karena keabsolutannya dalam mengangkangi kebenaran. Wahyu itu jawaban pasti, kebenaran yang ditawarkannya tunggal. Puisi adalah pertanyaan yang bebas ditafsirkan berbeda oleh setiap orang.

Sejumlah anggota redaksi Tempo mewawancarainya. Adonis menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Arab, yang dia sebut sebagai ?bahasa ibu?-nya, diselingi bahasa Prancis. Berikut ini petikannya.

Apa saja yang Anda pelajari sebelum menyimpulkan bahwa kebenaran puisi serta kebenaran wahyu bertolak belakang?

Saya menghabiskan waktu panjang untuk sampai pada kesimpulan itu. Di masa kecil, saya mendapat pendidikan agama dan sastrawi. Saya menguasai Al-Quran dan puisi secara bersamaan. Mendapat pendidikan dari dua sisi, tentu membahagiakan. Tapi saya melihat ada masalah kebudayaan mendasar dalam Islam.

Sebelum Islam, puisi menjadi sumber kebenaran. Tapi, setelah kedatangan Islam, kebenaran harus bersumber dari wahyu saja. Tak ada lagi kebenaran bersumber puisi. Dari situ saya mulai membaca Al-Quran dengan penuh pertanyaan, bukan dengan kacamata seorang beriman. Saya lalu sampai pada kesimpulan Al-Quran menganggap puisi sebagai sumber kesesatan dan penyair adalah orang yang menyebarkan kesesatan.

Apakah teks puisi bisa menjadi sumber kebenaran selain teks agama?

Berkali-kali membaca puisi Arab, saya tidak melihat ada kesesatan. Sebaliknya, puisi memberi kebenaran mendalam. Ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas, menjadi modal mencipta. Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita kebenaran mutlak, final, sempurna.

Jika kebenaran sudah paripurna seperti itu, tak ada lagi ruang untuk mencari kebenaran. Semua sudah selesai. Tidak ada tempat bagi manusia untuk berpikir. Satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah menaati apa yang telah disampaikan oleh wahyu. Teks agama menutup cakrawala pencarian kebenaran, dan sebaliknya, teks puisi membuka pintu bagi kita untuk mencari kebenaran. Di sinilah pertentangan wahyu dan puisi. Sejak menyadari hal itu, saya mencoba untuk tidak melihat dalam kacamata agama. Saya menggunakan kacamata puisi dan kemanusiaan.

Bukankah yang ditentang adalah puisi dekaden? Puisi yang mengajak kebaikan malah dianjurkan. Di Indonesia, banyak ulama yang bersyair....

Tak ada teks Al-Quran yang memuji atau menganjurkan puisi. Sebaliknya, teks Al-Quran merendahkan puisi. (Adonis mengutip sejumlah ayat dari surat Asy-Syuara/Para Penyair, ayat 224-226: ?Dan para penyair diikuti oleh mereka yang sesat. Tidakkah kau melihat sesungguhnya mereka mengembara ke setiap lembah dan mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.?)

Tapi, dalam agama selalu ada dua dimensi: dimensi teks dan dimensi sejarah. Nabi sendiri memakai para penyair (untuk kepentingan agama). Penyair pertama yang dipakai adalah Hassan bin Tsabit. Meski puisi mendapat tempat, maknanya telah dihilangkan, perannya dikebiri. Puisi tidak lagi menjadi sumber kebenaran, tapi perantara untuk melayani agama. Dan ketika puisi menjadi alat melayani agama, berakhirlah dia. Syair menjadi lemah. Ini terbukti dengan berhentinya produksi puisi pada 50 tahun pertama Hijriah. Mereka yang mengutip ayat untuk puisi bukanlah penyair.

Bagaimana dengan Imam Syafii yang banyak menulis puisi?
Bahkan dia. Orang yang kehilangan sesuatu tak akan bisa memberi sesuatu.

Apa yang hilang? Kebebasankah?

Bukan hanya kebebasan. Penyair harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Untuk menulis puisi, manusia harus hidup di dalam puisi. Ungkapan seorang penyair amat berbeda dengan cara pemikir, filsuf, alim ulama, atau ahli agama. Saat melihat jendela, seorang pemikir berkata, jendela ini persegi panjang. Tapi penyair bisa bilang jendela adalah perempuan yang membentangkan kedua tangannya.

Bukankah kritik Al-Quran ditujukan bagi para penyair dekaden?

Kalau memang hanya penyair dekaden yang dikritik Al-Quran, semestinya nama mereka saja disebut satu per satu. Tapi kan kritik di Al-Quran menyeluruh untuk semua penyair. Kritik Al-Quran terhadap puisi bukan soal individu, tapi karena puisi dipakai sebagai sumber kebenaran.

Jadi Anda menafikan peran agama sebagai sumber ilham puisi?

Agama adalah sebuah hubungan antara manusia dan sesuatu yang tak terketahui. Ia diciptakan agar ada jawaban pasti untuk semua yang tidak kita ketahui, seperti kematian. Sebenarnya, rasa penasaran seperti ini sudah ada dalam diri manusia sejak dulu kala. Islam?dan agama-agama monoteis?memberi solusi dan jawaban tentang hal-hal tersebut. Jawaban itulah yang kemudian menjadi keyakinan. Dan keyakinan selalu bertentangan dengan puisi. Keyakinan apa pun.

Dalam tradisi agama, ada peran syair yang hebat. Zen melahirkan Haiku, Yahudi punya Kaballa, Tagore mengutip Veda, Iqbal dengan Al-Quran. Di Jawa, salah satu puncak kesusastraan muncul saat para pendeta berpuisi....

Pertama, yang kita bicarakan di sini adalah agama monoteis. Kedua, keyakinan pasti bisa menjadi sumber puisi. Bahkan ideologi politik bisa menjadi sumbernya. Masalahnya, seberapa bagus kualitasnya. Puisi-puisi yang muncul dari keyakinan adalah kelas dua, merupakan bagian dari propaganda ideologi dan mendukung keyakinan. Puisi sejati adalah yang mampu membakar, melintasi, dan melampaui segala keyakinan. Seperti Al-Hallaj dan Ibn Arabi.

Bagaimana dengan semangat melahirkan sastra islami?

Agama tidak memiliki seni. Kalau ada puisi islami, berarti ada sinema islami, ada tarian islami, nyanyian islami. Sebutan itu bertentangan dengan agama. Standarnya apa kita menyebut seni itu islami atau tidak?

Untuk menjadi penyair yang baik, haruskah orang keluar dari ikatan agama dan keyakinan?

Mereka yang tidak dapat lepas dari kungkungan eksternal ataupun internal tidak akan mungkin menjadi penyair. Selama kita segan menyatakan apa yang ada dalam diri kita, kita tidak dapat berpuisi. Misalnya soal seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan karena orang yang taat beragama merasa tabu mengungkapkannya.

Bukankah penyair Abu Nawas yang semula dikenal liberal, bahkan dekaden, di akhir hidupnya kembali ke agama?

Abu Nawas, penyair abad ke-2 Hijriah (ke-8 Masehi), adalah tonggak baru yang memisahkan puisi sebelum dan sesudahnya. Dia memasukkan kemodernan dalam puisi Arab. Dia membangun imajinasi kota, seperti anggur, jalanan, gedung-gedung, dan wanita, ke dalam puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil obyek desa. Dia yang pertama menulis puisi seks dan homoseksualitas. Misalnya, ?Seseorang datang bersama gulamnya.? Gulam adalah sebutan untuk pria piaraan. Sayang, saya tidak bisa melihat keindahan itu karena saya tetap menyukai perempuan ha-ha-ha?. Tapi puisi ini berperan penting dalam sejarah puisi Arab.

Anda mulai menulis puisi sejak umur 12 tahun. Apa sumber inspirasi Anda?

Cinta. Perempuan ha-ha-ha?.
Apa yang lebih Anda yakini, agama atau kebebasan?
Kebebasan. Saya percaya pada kebebasan.

Apakah Anda ateis?

Saya tidak suka membahas sesuatu yang dapat membuat kita terlihat hina. Saya meletakkan diri di luar keimanan dan di luar keateisan. Terutama, karena ateis adalah istilah yang dikeluarkan oleh agama untuk musuh mereka.

Kenapa Anda menggunakan nama Adonis?

Wah, ceritanya panjang. Sejak umur 12 tahun saya sudah menulis puisi dan mengirimkannya ke sejumlah majalah dengan nama Ali Ahmad Said. Tapi tak ada yang menerbitkannya. Saya sedih sekali, hingga suatu malam saya membaca mitologi tentang Adonis. Dia dewa Yunani yang mencintai keindahan. Suatu kali dia berburu ke hutan dan diserang babi hutan. Dari tetesan darahnya tumbuh bunga merah. Di Beirut, setiap tahun kami punya upacara di Sungai Adonis yang mengalirkan air merah. Konon, legenda mengatakan itulah darah Adonis. Sebenarnya gerusan tanah. Saya tercengang oleh cerita tersebut dan sejak saat itu saya menulis puisi dengan nama Adonis. Saat berusia 15 tahun, puisi saya akhirnya diterbitkan di halaman depan sebuah majalah. Saya diminta datang ke kantor majalah itu dengan pakaian lusuh. Tak ada yang percaya saya Adonis. Pemimpin redaksi terheran-heran karena menyangka Adonis bukanlah anak muda dan miskin seperti saya.

Rabu, 03 Desember 2008

ADONIS ALIAS ALI AHMAD SAID

Tempat dan Tanggal Lahir:
Al-Qassabin, Latakia, Suriah, 1930?kini berdiam di Paris.